Agus
Suman: Sulit Menoleh ke Timur
Gegap
gempita kemeriahan HUT Ke-66 RI tahun ini sedikit ternoda aksi pengibaran
bendera ’’Papua Merdeka’’ oleh gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM)
di Papua lalu (17/8). Pengibaran bendera tersebut seolah menegur kita bahwa
selama ini ada ’’masalah tersembunyi’’ di kawasan timur Indonesia (KTI),
khususnya Papua.
Secara
umum, KTI meliputi 14 wilayah provinsi yang membentang luas dari Kalimantan
hingga Papua, kecuali Bali. Dengan wilayah yang luas meliputi hampir 70 persen
Nusantara dan melimpah ruahnya kekayaan sumber daya alam, KTI mempunyai potensi
besar menjadi daerah kawasan paling maju di Indonesia.
Namun,
sayangnya, realita menunjukkan, KTI tertinggal jauh dalam pembangunan sehingga
tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya masih rendah bila dibanding
kawasan barat. Akibatnya, ’’gejolak-gejolak sosial’’ pun muncul di
daerah-daerah KTI.
Terlepas
dari ada tidaknya intervensi asing, munculnya OPM disebabkan adanya
ketidakadilan yang dialami sebagian besar rakyat Papua. Buruknya kualitas
infrastruktur, pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan yang jauh dari
memadai, serta timpangnya hasil pembangunan lainnya merupakan salah satu contoh
’’sketsa buram’’ wajah Papua.
Hal
itu ditengarai menjadi penyebab utama ketertinggalan dan keterbelakangan rakyat
Papua. Meski pemerintah telah mengeluarkan ’’jurus ampuh’’ berupa
penggelontoran dana otonomi khusus (otsus), hal tersebut kurang manjur. Menurut
laporan Badan Pemeriksa Keuangan, dari total dana otsus yang disalurkan ke
Papua dan Papua Barat 2002–2010 yang mencapai Rp 28,84 triliun, ditengarai
terjadi penyimpangan Rp 4,12 triliun (di antara Rp 19,12 triliun yang diperiksa
BPK).
Ketimpangan
akut di sebagian besar KTI yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan
antarwilayah di Indonesia dikhawatirkan memicu terjadinya disintegrasi bangsa.
Inti permasalahan ’’ketimpangan akut’’ yang tak kunjung selesai itu terjadi
karena beberapa faktor. Di antaranya, pertama, kita masih sulit ’’menoleh’’ ke
timur. Itu terbukti pada terkonsentrasinya pembangunan ekonomi di Jawa dan
Sumatera, khususnya aktivitas sektor industri. Padahal, sektor itu merupakan
salah satu sektor penyangga ekonomi (yang biasa disebut tradeable sector),
selain sektor pertanian.
Konsentrasi
kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu menjadi salah satu faktor yang
mengakibatkan terjadinya disparitas pembangunan antardaerah. Pembangunan
ekonomi di daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh
pesat dibanding daerah yang memiliki tingkat konsentrasi kegiatan ekonomi
rendah. Begitu pula, konsentrasi penduduk di dalam dan di sekitar kota-kota
besar biasanya diikuti adanya disparitas pendapatan antardaerah (Akita dan
Lukman, 1995).
Akibatnya,
meski perekonomian Indonesia pada triwulan II/2011 tumbuh 6,5 persen (asumsi
semula pemerintah 6,4 persen), ketimpangan masih mewarnai wajah perekonomian
nasional. Lebih dari separo produk domestik bruto (PDB) didominasi Pulau Jawa.
Menurut data BPS, Pulau Jawa menyumbang 57,7 persen; Sumatera (23,5 persen);
Kalimantan (9,5 persen); Sulawesi (4,7 persen); dan sisanya 4,6 persen tersebar
di daerah-daerah lain, khususnya Papua dan sekitarnya.
Konsekuensinya,
penduduk miskin terpusat di KTI yang mencapai 40 persen, yang terbanyak di
Papua dan Maluku (25,95 persen). Jumlah terkecil berada di Kalimantan (6,92
persen). Ketidakmerataan pembangunan dan kesenjangan antardaerah menimbulkan
kekecewaan publik terhadap pemerintah.
Kedua,
rendahnya kualitas dan kuantitas SDM. Hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi,
untuk mencapai kemajuan pembangunan, faktor kualitas SDM berperan penting,
selain SDA, infrastruktur, dan penguasaan teknologi informasi. Hal itulah yang
menghambat kemajuan pembangunan di KTI. Kualitas SDM di KTI masih di bawah
rata-rata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2009, tujuh di
antara 12 provinsi di KTI memiliki IPM di bawah rata-rata nasional (rata-rata
IPM Indonesia 2008 sebesar 70,39). Pada tahun yang sama, di antara 126
kabupaten/kota di KTI, 48 kabupaten/kota memiliki IPM di bawah IPM rata-rata
KTI sebesar 68,420.
Selain
IPM, nilai indeks pembangunan daerah (IPD) yang memperlihatkan tingkat
pembangunan provinsi juga masih di bawah rata-rata nasional. Selain itu,
beberapa hasil penelitian menunjukkan, KTI hanya memberikan kontribusi 18
persen terhadap penawaran tenaga kerja, kalah jauh oleh kawasan barat Indonesia
(KBI) yang memberikan kontribusi 82 persen. Meski KTI mempunyai wilayah 70
persen Indonesia, jumlah penduduknya hanya 20 persen di antara total penduduk
Indonesia. Ditengarai, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM KTI tersebut
disebabkan terbatasnya sarana-prasarana pendidikan berkualitas serta persebaran
penduduk yang tidak merata.
Ketiga,
buruknya sarana-prasarana infrastruktur. Sudah menjadi hal umum, kualitas
sarana dan prasarana infrastruktur di daerah KTI masih tertinggal jauh
dibanding daerah di Pulau Jawa, selain topografi dan relief keadaan alamnya
yang tidak bersahabat untuk pembangunan infrastruktur, khususnya di darat.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia juga masih belum merata dan masih
terpusat di Pulau Jawa yang dihuni 59 persen di antara total populasi serta
menempati sekitar 7 persen luas daratan Indonesia, namun menyumbang 57,7 persen
dari jumlah PDB Indonesia.
Keempat,
kondisi keamanan KTI yang belum kondusif. Selain faktor birokrasi dan kemudahan
akses distribusi barang-jasa, faktor keamanan memainkan peran penting dalam
menarik investor guna menanamkan modalnya untuk usaha. Khusus daerah Papua yang
keamanannya sangat rawan oleh gerakan separatis, hal itu cukup menghambat investor
untuk menanamkan modalnya di Papua.
Tak
terasa, republik ini sudah memasuki usia 66 tahun. Namun, kondisi perekonomian
Indonesia belum kunjung membaik. Bukannya pemerataan kesejahteraan yang
didapat, tapi malah ketimpangan yang saat ini terjadi. Situasi itu tentu saja
merugikan karena dapat meninggalkan ’’bom waktu’’ yang bisa meledak kapan saja
dalam perekonomian Indonesia.
Masih
belum meratanya pembangunan nasional di Indonesia saat ini tentunya mengingkari
’’amanah konstitusi’’ yang bertekad untuk mewujudkan ’’keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia’’. Hal tersebut bisa menjadi faktor pemicu terjadinya
’’disintegrasi bangsa’’.
Tentu, kita semua tidak menghendaki hal
tersebut terjadi, Papua Merdeka, Borneo (Kalimantan) Merdeka, Maluku Merdeka,
dan lain-lain. Karena itu, pemerintah harus meletakkan kembali pijakan
pembangunan ekonomi kerakyatan berdasar Pancasila dan UUD 1945 dengan
memberikan peluang yang sama kepada setiap rakyat untuk memperoleh akses
ekonomi.
Banyak
jalan yang bisa dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Di
antaranya, mempercepat pembangunan ekonomi di KTI dengan mendayagunakan
keunggulan potensi SDA, SDM berkualitas, penguasaan iptek, serta infrastruktur
yang baik. Semoga kita tidak terlambat menyadarinya.
*)
Guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya