DAMAI ITU = Wani
Piro??
Oleh
: Fathurrohman Al Jupri
Mungkin sebagian dari anda sudah
mengerti maksud dari judul tulisan ini. Dahulu orang selalu bilang “Damai Itu
Indah” namun kalimat ini sekarang sudah mulai mengalami perubahan, bahkan
diantara teman – teman saya ada yang berkata “Damai Itu = Rp. 20.000” hahaha..
memang sedikit mengguyon, tetapi itulah kenyataan yang sedang terjadi di Bumi
Pertiwi Indonesia ini.
Bagi anda yang masih bertanya –
Tanya apa maksud dari tulisan saya, tulisan ini adalah sebuah sentilan untuk
Hukum di negri kita. Ya mengapa demikian? Sudah menjadi “Rahasia Umum” bahwa
penegakan di negri kita ini masih kurang tegas, pandang bulu, dan “wani Piro”
Saya akan memberikan sebuah contoh
kasus yang sangat sering terjadi di kalangan masyarakat, bahkan mungkin anda
juga pernah mengalaminya. Yaitu adalah Penilangan, saya akan memberikan sedikit
cerita dari pengalaman saya tentang Tilang.
Pertama kita akan membahas tentang
Hukum “wani piro”. Kejadian ini terjadi sekitar beberapa waktu yang lalu, Siang
itu saya dan sahabat saya pulang dari monas, setelah mengikuti lomba lari yang
di adakan oleh Pemda DKI.
Ketika di jalan raya tiba – tiba kami di
suruh menepi oleh seorang petugas, lalu kami pun menepi. Dan setelah itu
terjadi percakapan antara teman saya dan Oknum tersebut.
Oknum
= O
Teman
= T
O : Selamat siang, bisa tunjukkan Surat – Suratnya?
T : (mengambil SIM dan STNK) ini pak.
O : Selamat siang, bisa tunjukkan Surat – Suratnya?
T : (mengambil SIM dan STNK) ini pak.
O
: Anda tahu, tadi ada telah menerobos lampu merah.
T : Hah? (kaget) enggak koq pak, orang tadi lampunya masih Hijau.
T : Hah? (kaget) enggak koq pak, orang tadi lampunya masih Hijau.
O
: Jangan banyak alasan, ya sudah kamu di tilang saja ya, dan nanti ikut sidang.
T
: aduh pak koq di tilang, jangan dong pak.
O
: ya udah mau Tilang apa Damai?
T
: (berfikir sejenak, lalu mengambil uang 20 ribu) ini pak damai aja.
O
: kurang lima ribu.
T : ga ada lagi pak, uang saya ada segitu doing.
T : ga ada lagi pak, uang saya ada segitu doing.
O
: ya udah sana jalan. Laen kali jangan nerobos lagi ya.
T : iya pak (sambil ngedumel, dan agak kesal, karena ia merasa tidak melanggar lalulintas)
T : iya pak (sambil ngedumel, dan agak kesal, karena ia merasa tidak melanggar lalulintas)
Lalu kami pun melanjutkan perjalanan
pulang, dan dalam perjalanan sahabat saya ini masih saja marah – marah karena
tidak melanggar malah di tilang.
itu pengalaman saya dengan sahabat
saya saat kami di tilang, dan dapat saya simpulkan kasus di atas adalah contoh
hukum “wani piro”, dan saya akan memberikan satu contoh kasus lagi tentang
hukum, tetapi ini adalah hukum “Pandang Bulu”.
Pasti kalian mengerti apa yang di
maksud tentang pandang bulu, barang siapa yang banyak bulunya, dialah
pemenangnya.. hahahaha.. bukan itu yang dimaksud dengan pandang bulu, yang
dimaksdu dengan pandang bulu ialah, seseorang akan memandang orang lain
berdasarkan latar belakang orang tersebut, apakah ia seorang pejabat, atau
warga sipil biasa.
Dan di bawah ini adalah pengalaman
saya dengan teman saya yang adalah seorang anak dari Keluarga Militer pada saat
kami di tilang.
Kejadian ini masih hangat, alias
baru – baru ini terjadi. Kejadiannya pada saat saya dan teman saya pulang
kuliah, saya dan teman saya melewati rute yang biasa kami lewati, nah ketika
kami sampai di persimpangan lampu merah, di sana itu terkenal macet karena
angkot yang berhenti se’enaknya di tengah jalan, dan kami pun terpaksa mencari
celah – celah untuk bisa kami lewati, dan ketika kami berhasil melewati
kemacetan teman saya melewati lampu yang semula hijau mulai berubah menjadi
kuning. Para pengendara motor lainnya menerobos lampu yang masih kuning itu,
dan juga teman saya mengikuti para pengendara lain.
Nah ketika sudah lewat, tepat di
depan pos ada petugas yang menginstruksikan kami untuk menepi, saya dan teman
saya hanya tersenyum, karena Oknum yang menilang ini sama saja mencari perkara,
karena teman saya yang memboncengi saya ini adalah anak dari Keluarga Militer.
Terjadilah percakapan antara kami.
Teman
saya : T
Petugas
: P
Saya
: S
P
: selamat sore, bisa tolong tunjukkan surat – suratnya?
T
: (sedikit tersenyum dan memberikan SIM dan STNK)
P
: Ayo ikut saya ke pos.
Kami
di ajak masuk ke dalam pos. dan di dalam pos Oknum itu mengeluarkan buku
tilang.
P
: kamu tau, tadi itu lampu merah.
T
: lah tadi ijo pak, gara - angkot pada
ngetem aja, jadi saya ketahan keburu merah.
P
: ya udah tilang ya, (sambil nulis di buku tilang)
T
: sebentar pak saya telpon bapak saya dulu.
T
: bang, hape lu ada pulsanya? Sini gua pinjem.
S
: ada koq nih.
T : sebentar ya pak saya telpon bapak saya dulu.
P : emangnya bapak kamu kerja di mana?
T : kerja di polsek pak. (sebenarnya yang menjadi Kapolsek adalah pamannya, dan ayahnya adalah seorang Petinggi Militer)
T : sebentar ya pak saya telpon bapak saya dulu.
P : emangnya bapak kamu kerja di mana?
T : kerja di polsek pak. (sebenarnya yang menjadi Kapolsek adalah pamannya, dan ayahnya adalah seorang Petinggi Militer)
P
: oh, bilang dong dari tadi, hampir aja saya tilang (sambil tersenyum nyeringis
alias nyengir :D ), ya udah beli’in saya rokok aja 2 bungkus.
(teman
saya pergi membeli rokok tetapi hanya sebungkus)
T
: nih pak 1 bungkus aja.
P
: lain kali hati – hati ya, bahaya nerobos lampu, masih bujangan kan sayang
kalo sampe kecelakaan.
Kami : Iya pak.
Kami : Iya pak.
Lalu
setelah kami melanjutkan perjalanan, teman saya berkata “sebenernya tadi gak
gua beli’in rokok juga gak papa itu, tapi gua kasihan aja sama dia, hahaha”
saya pun ikut tertawa, karena begitu mudahnya dia menghadapi oknum tersebut, mungkin jika tadi yang ditilang adalah warga biasa itu sudah kena tilang atau Damai wani piro. Hahaha
saya pun ikut tertawa, karena begitu mudahnya dia menghadapi oknum tersebut, mungkin jika tadi yang ditilang adalah warga biasa itu sudah kena tilang atau Damai wani piro. Hahaha
Kejadian di atas adalah beberapa
pengalaman saya dengan Oknum, dan dari kejadian itu dapat kita ambil
kesimpulan, kita tidak sepenuhnya dapat menyalahkan Oknum, karena masih ada
dari mereka yang tidak mau di “sogok”, dan tentang kejadian serupa bukan hanya
Oknum nakal yang bersalah, tetapi juga dari diri kita sendiri.
Jika kita bisa taat dan patuh terhadap
peraturan – peraturan, kejadian sogok menyogok tidak akan terjadi. Maka dari
itu marilah kita bersika Disiplin dan taat pada peraturan – peraturan yang
berlaku.
Cukup sekian pengalaman dari saya, mohon
maaf jika ada kata – kata yang kurang berkenan, dan tidak ada maksud saya untuk
menjelek – jelekkan suatu lembaga atau Oknum dan sebagainya, tetapi saya hanya
bertujuan untuk menyadarkan kita semua, bahwa kita harus menghilangkan perilaku
yang seperti itu. Dan kuncinya adalah DISIPLIN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar