Total Tayangan Halaman

25 Des 2011

Hilangnya Semangat Gotong Royong


Gejala sosial kontemporer memprihatinkan yang mewarnai perkembangan masyarakat kekinian di Indonesia ialah makin menipis, atau bahkan mulai hilangnya, semangat kegotongroyongan. Padahal, gotong royong, merupakan salah satu ciri spesifik yang membedakan masyarakat Indonesia dengan masyarakat lain di berbagai belahan dunia lainnya.
Gotong royong, sebelumnya menjadi modal sosial yang selama ratusan tahun telah membentuk struktur dan kultur masyarakat di Indonesia. Namun, seiring dengan perubahan jaman yang diwarnai modernisasi di segala bidang, modal sosial yang sempat dianggap sebagai keunggulan komparatif bangsa Indonesia mulai menipis. Bahkan bila melihat perkembangan sosial budaya selama dua dekade terakhir, semangat gotong royong boleh dibilang telah redup sama sekali. Sebaliknya, seiring meredupnya semangat gotong royong, munculah individualisme sebagai sebuah kekuatan budaya baru. Ini memang pandangan yang pesimistik. Akan tetapi bila melihat fenomena sosiologis yang terjadi selama dua dedake, nyaris semua sistim nilai yang dulu merupakan hal-hal positif dari bangsa ini telah bangkrut.
Padahal betapa strategisnya gotong royong bagi bangsa Indonesia. Tak hanya sebagai modal sosial, tetapi juga lebih luas lagi, gotong royong yang ditandai dengan kolektifisme dalam berbagai hal, menjadi modal kebudayaan bagi bangsa Indonesia dalam menapaki proses perjalanan historisnya menuju masyarakat beradab atau madani (civilian). Bung Karno menyadari betapa pentingnya gotong royong sebagai dasar dari semangat atau spirit kebangsaan Indonesia. Presiden pertama Indonesia yang juga Founding-father bangsa ini, bahkan menyebut gotong royong sebagai intisari dari kebangsaan Indonesia. Ini dikemukakan dalam pidatonya yang terkenal dan fenomenal di depan BPUKI pada tgl 1 Juni 1945. Pada pidato itu, Soekarno mengemukakan tentang sifat-sifat dasar dari kebangsaan Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila". Pancasila seperti yang dikemukakan Ir. Soekarno atau Bung Karno, meliputi lima nilai dasar kebangsaan. Yakni  Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan peri kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosialdan Ketuhanan yang Maha Esa.
Bung Karno tak berhenti pada titik itu. Pada penjelasan berikutnya, dia menyederhanakan kelima nilai dasar kebangsaan itu dengan apa yang disebut dengan "Trisila", secara umum meliputi Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Puncak pidato 1 Juni itu ketika proklamator itu mengemukakan, bahwa dari lima nilai dasar (Pancasila) atau yang disederhanakan menjadi tiga nilai dasar (Trisila), sebenarnya dapat 'diperas' menjadi satu nilai atau disebutnya dengan "Ekasila'. Apakah itu, tidak lain ialah "Gotong Royong". Dalam pidato berapi-api yang mendapat aplaus dari seluruh anggota BPUPKI, Bung Karno menekankan kata "Gotong Royong" berkali-kali. Dikatakan, sifat itu merupakan spirit dasar dari kebangsaan Indonesia. Bahkan gotong royong itu merupakan nilai-nilai purba (asli) yang telah membentuk Indonesia menjadi sebuah bangsa dan masyarakat. 
Akan tetapi belakangan ini, sifat dasar itu telah mulai menipis. Perubahan-perubahan dramatis yang melanda bangsa ini, telah mencerabut sifat dasar kebangsaan itu dan berubah menjadi nilai lain yang merupakan lawan dari semangat gotong royong (komunalisme), yakni indvidualisme. Terdapat kecenderungan-kecenderungan yang tak dapat ditolak, bahwa individualisme, telah menjadi alternatif dari sistim nilai yang gejalanya terus menguat pada masyarakat. Etika ketimuran yang ditandai dengan gotong royong sebagai ciri khas dari masyarakat komunal, telah tergantikan peranannya oleh individualisme.Terlalu banyak contoh soal terjadinya perubahan atau bahkan perubahan orientasi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Dimana sistim nilai dasar telah tergantikan nilai baru yang merupakan dampak dari arus modernsisasi.Tak ada lagi perasaan kebersamaan sebagai warga sosial.
Tak hanya di kalangan masyarakat perkotaan, tetapi telah merembes ke pedesaan-pedesaan. Contoh sederhana ialah soal rembug desa yang biasa mengawali adanya hajatan warga, misalnya membangun rumah, selokan atau jalan desa, sekarang telah tergantikan, sebab jalan desa, pembuatan saluran irigasi telah menjadi paket-paket proyek anggaran yang dikerjakan oleh pemborong.Juga gotong royong membangun rumah. Sudah jarang ditemui ada warga tanpa pamrih bekerjasama membangun rumah salah satu warganya. Sekarang, untuk bekerja, setidaknya si pemilik rumah harus menyediakan dana untuk memberi upah. Nilai-nilai telah terkomersialisasikan, dari kerja dengan penuh kerelaan menjadi kerja dengan motivasi memperoleh upah (uang).
 Bila Javanolog, Clifford Geertz menyebutkan kegotong royongan diwujudkan dengan "Sepi ing Pamrih, Rame Ing Gawe" pada masyarakat pedesaan, kini telah berubah menjadi "Sepi Ing Gawe, Rame Ing Pamrih". Artinya, masyarakat baru mau bekerja bila ada pamrih (berupa upah).


Dekadensi Kultural
Krisis multidimesi yang terjadi dekade terakhir, makin membuat cemas perkembangan sosiologis dan kebudayaan. Krisis ekonomi yang kemudian meledakan krisis politik dan kebudayaan secara umum, telah membentuk sebuah postur moralitas bangsa Indonesia yang karut marut.

Maka jangan heran bila tsunami dan gempa bumi tak hanya meluluhlantahkan Aceh, Yogyakarta, Jawa selatan dan sebagian wilayah lain negeri ini, tetapi juga menghancurkan moralitas bangsa. Inilah tsunami yang tak kalah mencemaskan. Gejala-gejala paradoksal kembali muncul.
 
Sumber : Agung Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar