Gejala sosial kontemporer
memprihatinkan yang mewarnai perkembangan masyarakat kekinian di Indonesia
ialah makin menipis, atau bahkan mulai hilangnya, semangat kegotongroyongan.
Padahal, gotong royong, merupakan salah satu ciri spesifik yang membedakan
masyarakat Indonesia dengan masyarakat lain di berbagai belahan dunia lainnya.
Gotong royong, sebelumnya menjadi
modal sosial yang selama ratusan tahun telah membentuk struktur dan kultur
masyarakat di Indonesia. Namun, seiring dengan perubahan jaman yang diwarnai
modernisasi di segala bidang, modal sosial yang sempat dianggap sebagai
keunggulan komparatif bangsa Indonesia mulai menipis. Bahkan bila melihat perkembangan sosial budaya selama dua dekade
terakhir, semangat gotong royong boleh dibilang telah redup sama sekali. Sebaliknya,
seiring meredupnya semangat gotong royong, munculah individualisme sebagai
sebuah kekuatan budaya baru.
Ini memang
pandangan yang pesimistik. Akan tetapi bila melihat fenomena sosiologis yang
terjadi selama dua dedake, nyaris semua sistim nilai yang dulu merupakan
hal-hal positif dari bangsa ini telah bangkrut.
Padahal betapa strategisnya gotong
royong bagi bangsa Indonesia. Tak hanya sebagai modal sosial, tetapi juga lebih
luas lagi, gotong royong yang ditandai dengan kolektifisme dalam berbagai hal,
menjadi modal kebudayaan bagi bangsa Indonesia dalam menapaki proses perjalanan
historisnya menuju masyarakat beradab atau madani (civilian). Bung
Karno menyadari betapa pentingnya gotong royong sebagai dasar dari semangat
atau spirit kebangsaan Indonesia. Presiden pertama Indonesia yang juga Founding-father
bangsa ini, bahkan menyebut gotong royong sebagai intisari dari kebangsaan
Indonesia. Ini dikemukakan dalam pidatonya yang
terkenal dan fenomenal di depan BPUKI pada tgl 1 Juni 1945. Pada pidato itu,
Soekarno mengemukakan tentang sifat-sifat dasar dari kebangsaan Indonesia yang
kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila". Pancasila seperti yang dikemukakan Ir. Soekarno atau Bung Karno,
meliputi lima nilai dasar kebangsaan. Yakni Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme dan peri kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan
sosialdan Ketuhanan yang Maha Esa.
Bung Karno tak berhenti pada titik
itu. Pada penjelasan berikutnya, dia menyederhanakan kelima nilai dasar
kebangsaan itu dengan apa yang disebut dengan "Trisila", secara umum
meliputi Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Puncak pidato 1 Juni itu ketika proklamator itu mengemukakan, bahwa dari
lima nilai dasar (Pancasila) atau yang disederhanakan menjadi tiga nilai dasar
(Trisila), sebenarnya dapat 'diperas' menjadi satu nilai atau disebutnya dengan
"Ekasila'. Apakah itu, tidak lain ialah "Gotong Royong". Dalam
pidato berapi-api yang mendapat aplaus dari seluruh anggota BPUPKI, Bung Karno
menekankan kata "Gotong Royong" berkali-kali. Dikatakan, sifat
itu merupakan spirit dasar dari kebangsaan Indonesia. Bahkan gotong royong itu
merupakan nilai-nilai purba (asli) yang telah membentuk Indonesia menjadi
sebuah bangsa dan masyarakat.
Akan tetapi belakangan ini, sifat
dasar itu telah mulai menipis. Perubahan-perubahan dramatis yang melanda bangsa
ini, telah mencerabut sifat dasar kebangsaan itu dan berubah menjadi nilai lain
yang merupakan lawan dari semangat gotong royong (komunalisme), yakni
indvidualisme. Terdapat kecenderungan-kecenderungan
yang tak dapat ditolak, bahwa individualisme, telah menjadi alternatif dari
sistim nilai yang gejalanya terus menguat pada masyarakat. Etika ketimuran yang
ditandai dengan gotong royong sebagai ciri khas dari masyarakat komunal, telah
tergantikan peranannya oleh individualisme.Terlalu banyak contoh soal
terjadinya perubahan atau bahkan perubahan orientasi Indonesia sebagai sebuah
bangsa. Dimana sistim nilai dasar telah tergantikan nilai baru yang merupakan dampak
dari arus modernsisasi.Tak ada lagi perasaan kebersamaan sebagai warga sosial.
Tak hanya di kalangan masyarakat
perkotaan, tetapi telah merembes ke pedesaan-pedesaan. Contoh sederhana ialah
soal rembug desa yang biasa mengawali adanya hajatan warga, misalnya membangun
rumah, selokan atau jalan desa, sekarang telah tergantikan, sebab jalan desa,
pembuatan saluran irigasi telah menjadi paket-paket proyek anggaran yang
dikerjakan oleh pemborong.Juga gotong royong membangun rumah. Sudah jarang
ditemui ada warga tanpa pamrih bekerjasama membangun rumah salah satu warganya.
Sekarang, untuk bekerja, setidaknya si pemilik rumah harus menyediakan dana
untuk memberi upah. Nilai-nilai telah terkomersialisasikan, dari kerja dengan
penuh kerelaan menjadi kerja dengan motivasi memperoleh upah (uang).
Bila Javanolog, Clifford
Geertz menyebutkan kegotong royongan diwujudkan dengan "Sepi ing
Pamrih, Rame Ing Gawe" pada masyarakat pedesaan, kini telah berubah
menjadi "Sepi Ing Gawe, Rame Ing Pamrih". Artinya, masyarakat
baru mau bekerja bila ada pamrih (berupa upah).
Dekadensi Kultural
Krisis multidimesi yang terjadi
dekade terakhir, makin membuat cemas perkembangan sosiologis dan kebudayaan.
Krisis ekonomi yang kemudian meledakan krisis politik dan kebudayaan secara
umum, telah membentuk sebuah postur moralitas bangsa Indonesia yang karut
marut.
Maka jangan heran bila tsunami dan
gempa bumi tak hanya meluluhlantahkan Aceh, Yogyakarta, Jawa selatan dan
sebagian wilayah lain negeri ini, tetapi juga menghancurkan moralitas bangsa.
Inilah tsunami yang tak kalah mencemaskan. Gejala-gejala paradoksal kembali
muncul.
Sumber : Agung Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar